Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya
sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam
dengan judul "Memahami Pengertian dan Fungsi Perbankan Syariah" tepat
pada waktunya.
Penyusunan makalah
semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga
dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan
makalah ini.
Namun tidak lepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari
segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada
kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran
maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun
sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya
dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan
lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Banda Aceh, 24 Januari 2016
Penyusun
MENANGGAPI
SINERJISITAS PIDANA POTONG TANGAN BAGI KORUPTOR DENGAN SYARIAT ISLAM di ACEH
A. PENGERTIAN KORUPSI MENURUT ISLAM
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah
(suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan).
1.
Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap
(risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga
merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa
hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap
ancaman hukumanya berupa hukuman ta’zir (jarimah ta’zir) yang disesuaikan
dengan peran masing-masing dalam kejahatan. Suap adalah memberikan sesuatu
kepada orang penguasa atau pegawai dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat
keuntungan dari itu atau dipermudahkan urusanya. Jika praktek suap itu
dilakuakan dalam ruang lingkup peradilan atau proses penegakkan hokum maka hal
itu merupakan kejahatan yang berat atau sejahat-jahatnya kejahatan. Abu Wail
mengatakan bahwa apabila seorang hakim menerima hadiah, maka berarti dia telah
makan barang haram, dan apabila menerima suap, maka dia sampa pada kufur.
2.
Yang kedua, Korupsi dalam dimensi
pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut etimologinya berarti melakukan
sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul
Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu indakan yang mengambil harta
orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa
sepengetahuan pemiliknya. Jadi sariqah adalah mengambil barang milik orang lain
dengan cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Seperti halnya korupsi yang mengambil harta dengan cara melawan hak dan tanpa
sepengetahuan pemiliknya (rakyat/masyarakat). Dalam syariah ancaman terhadap
pelaku sariqah (pencurian) ditentukan dengan jelas sebagaimana yang disebutkan
dalam surat Al Maidah: 38, Allah berfirman :
Artinya:
“Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”(QS. Al-Maidah:38)
Sehubungan dengan hukuman potong tangan dalam jarimah sariqah (pencurian)
terdapat perbedaan pendapat apakah juga berlaku terhadap korupsi karena
berdasarkan hadist Nabi SAW, yang bersabda:
“Tidak dipotong tangan
atas penghianatan harta (korupstor ), perampok dan pencopet”.
3.
Yang ketiga, Korupsi dalam dimensi
penipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan sabda Rosulullah saw, Allah
mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Terlebih penipuan
itu dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu
Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata: “ Aku mendengar Rosulullah saw. Bersabda :”
seorang hamba yang dianugerahi allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu
rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk surga.” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
4.
Yang keempat, Korupsi dalam dimensi
khianat (penghianatan). Bahasa Agama tentang korupsi yang sebenarnya adalah
khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan mengabailak, menyalahgunakan,
dan penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan kepercayaan yang amanahkan
kepada dirinya. Khianat adalah pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada
dirnya atau mengirangi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku
khianat akan menyebabkan permusuhan diantara sesame karena orang yang
berkhianat selalu memutar-balikkan fakta, dan juga berakibat terjadinya
destruksi baik secara moral, social maupun secara politik-ekonomi. Islam
melarang keras bagi orang-orang yang beriman terhadap perbuatan khianat baik
terhadapa Allah, Rasul serta terhadap sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27,
Allah berfirman:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahuinya”. (QS. Al-Anfal:27)
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai
nama) dalam Islam digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan
pelakunya dikualifikasi sebagai orang-orang yang munafik, dzalim, fasik dan
kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman hukumanya (selain had dan
ta’zir) adalah neraka jahannam.
B. DALIL LARANGAN KORUPSI
Artinya :
“Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 188)
"Ayat diatas jelas jelas melarang kita untuk mengambil harta orang
lain dengan caracara yang tidak benar. Dan "larangan" dalam
pengertian aslinya bermakna "haram", Dan ke"haram"an ini
menjadi lebih jelas, ketika Alloh menggunakan lafadh “bilitsmi” yang artinya
"dosa". Dari sini, jelas mengambil harta yang bukan miliknya
—termasuk diantaranya korupsi — adalah haram hukumnya, sama haramnya dengan
pekerjaan berzina, membunuh dan semacamnya.
Artinya :
"Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesunguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu ".(QS. An-Nisaa’:29)
Seperti yang pertama, ayat ini pun melarang dengan tegas mengambil harta
orang dengan cara-cara tidak benar, bedanya ayat ini memberikan solusi
bagaimana mengambil harta orang lain tetapi dengan cara yang benar, salah satu
di antaranya dengan melakukan jual beli atau transaksi dagang yang terlandasi
kerelaan diantara pembeli dan penjual. Yang menarik, dalam ayat ini disebutkan
dengan jelas larangan membunuh diri sendiri – apalagi membunuh orang lain –
setelah larangan memakan harta orang lain dengan cara batil, sehingga – paling
tidak – hukum dan hukuman orang yang memakan harta orang lain dengan cara batil
sama dengan hukum dan hukuman membunuh orang, kalau tidak saya katakan
"lebih berat", mengingat penyebutan larangan memakan harta orang lain
dengan cara batil didahulukan dari larangan membunuh.
Larangan untuk melakukan perbuatan korupsi terdapat dalam beberapa ayat
Al-Qur’an dan Hadits. Walaupun secara literer tidak terdapat langsung mengenai
arti kata korupsi, namun secara analogi ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut
melukiskan tentang beberapa definisi korupsi sebagaimana yang telah disebutkan
di atas. Dalam pembahasan ini, penulis hanya mengemukakan dalil-dalil tentang
al-‘ghashab (penggunaan hak orang lain tanpa izin), al-‘ghulul (penyelewengan
harta negara), ar-risywah (suap), al-khianah (khianat), dan al-haraabah
(perampasan). Sedangkan as-sariqah (pencurian) sudah tercakup dari keseluruhan
definisi tersebut. As-sariqah (pencurian) menurut penulis hanya berlaku bagi
kasus pencurian di mana hasil curian telah dimanfaatkan oleh si pencuri tanpa
dikembalikan hasil curiannya sehingga berlaku hukum potong tangan dalam hukum
Islam. Sedangkan bagi koruptor, wajib hukumnya mengembalikan hasil usaha
korupsinya secara utuh dan dikenakan hukuman sesuai dengan syari’at Islam
berdasarkan putusan hakim.
C. SINERJISITAS PIDANA POTONG TANGAN di
ACEH
Pemerintah daerah Provinsi Aceh tengah menggodok usulan dari Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk memasukan uqubat (hukuman) pidana potong
tangan terhadap koruptor. Hal itu merupakan upaya untuk mencegah mucuulnya
koruptor baru di Indonesia.
Penerapan uqubat berdasarkan qanun Syariat Islam itu sudah mendapat
dukungan positif dari berbagai elemen masyarakat Aceh. Seperti akademisi guru
besar perguruan tinggi, LSM, DPD-RI, TNI, Polri dan sejumlah pihak lainnya
sudah membuat dukungan secara langsung yang dihimpun Lembaga Konsultasi dan
Mediasi Bersama (LKMB) 2015.
Untuk saat ini, di Aceh sudah berlaku hukum syariat islam untuk seluruh
umat islam. Sedangkan wacana pidana potong tangan berlaku untung seluruh rakyat
Indonesia. Pemberlakuan hukum ini sangat didukung oleh golongan masyarakat.
Karena dasar yang dipakai untuk hukum ini adalah dasar negara pancasila,
tepatnya pancasila yang pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. karena kegiatan
korupsi merupakan salah satu larangan Tuhan, maka dengan menetapkan hukum
pidana potong tangan bagi koruptor adalah salah satu tindakan untuk
meminimalisirkan korupsi yang terjadi di negara ini dan juga untuk
meminimalisirkan orang-orang yang mengabaikan perintah Tuhan.
Berdasarkan Al-Quran, perbuatan pidana yang dilakukan Oleh seseorang yang
bertanggung jawab diberi hukuman dengan hukuman tertentu sesuai keadilan
menurut Petunjuk Allah. Dasar dari pada Siapa yang berbuat pidana, perbuatan
kejahatan apa yang dapat dipidana dan bagaimana hukumanya. Pertama didasarkan
pada Keimanan Kepada Allah dan Wahyu Allah dan Al-Quran dan kedua didasarkan
kepada akal sehat manusia untuk mendapatkan kemaslahatan didunia dan
kebahagiaan di akherat. Islam sebagai sistim nilai memegang peranan penting
untuk memberikan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau
penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkan potensi baik setiap indivisu, yakni
hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan
individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam
mengembangkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling
mengingatkan, dan saling menasehati.
Sejatinya Islam mengembangkan semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain,
Islam juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim
pengawasan administratif dan managerial yang ketat. Oleh karena itu dalam
memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang
bulu, apakah ia seorang pejabat ataukah ia orang kebanyakan. Tujuan hukuman
tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia
lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa damai, dan rukun dalam masyarakat.
Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara’, meskipun nash
tidak menjelaskan had atau kifaratnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan
hukuman ta’zir atas kemaksiatn tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa
kemiripan, diantaranya, mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, makan harta
riba dll. Maka perbuatan termasuk ke dalam jarimah ta’zir yang penting.
Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW berikut :
ﺐﻬﺘﻨﻣ ﻻﻭ ﻦﺋﺎﺧ ﻰﻠﻋ ﺲﻴﻟ
: ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ
ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ
(ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺪﲪﺍ ﻩﺍﻭﺭ) ﻊﻄﻗ ﺲﻠﺘﳐ ﻻﻭ
Artinya :
“Tidak ada (hukuman)
potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet”.(HR.Ahmad dan Tirmizy). Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi
bersabda :
Sebagai aturan pokok, Islam membolehkan menjatuhkan hukuman ta’zir atas
perbuatan maksiat, pabila dikendaki oleh kepentingan umum, artinya
perbuatan-perbuatan dan keadaan-keadaan yang bisa dijatuhi hukuman ta’zir tidak
mungkin ditentukan hukumannya sebelumnya, sebab hal ini tergantung pada sifat –
sifat tertentu, dan apabila sifat-sifat tersebut tidak ada maka perbuatan
tersebut tidak lagi dilarang dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut adalah
merugikan kepentingan dan ketertiban umum. Dan apabila perbuatan tersebut telah
dibuktikan di depan Pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan
harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai untuknya.
Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan dan ketertiban umum ini,
merujuk kepada perbuatan Rasulullah SAW, dimana ia pernah menahan seorang
laki-laki yang dituduh mencuri unta, Setelah diketahui/terbukti ia tidak
mencurinya, maka Rasulullah membebaskannya. Syari’at Islam tidak menentukan
macam-macam hukuman untuk jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan
hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya, seperti nasehat,
ancaman, sampai pada hukuman yang seberat-beratnya.
Penerapannya sepenuhnya diserahkan kepada Hakim (Penguasa), dengan
kewenangan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan
kadar kejahatan dan keadaan pelakunya,9 dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan umum Islam dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1.
Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga
dan memelihara kepentingan umum.
2.
Efektifitas hukuman dalam menghadapi
korupsi tanpa harus merendahkan martabat kemanusiaan pelakunya.
3.
Sepadan dengan kejahatan, sehingga terasa
adil.
4.
Tanpa pilih kasih, semua sama
keudukannya di depan hukum.
Seorang Hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringanya
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan
sanksi hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain kecuali
menerapkannya. Meskipun sanksi hukum bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam
nash secara tegas, namun perampasan dan pengkhiatan dapat diqiyaskan sebagai
penggelapan dan korupsi.
Filsafat Hukum Islam dalam bidang pidana, khususnya dalam perbuatan korupsi
dan juga pemberian hukumanya, seperti disebutkan diatas telah terbagi dalam
beberapa dimensi. Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu
risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat
(penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam
pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa
besar serta Allah sangat melaknatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Hukuman terhadap Koruptor masuk kedalam hukuman Ta’zier. Hanya dalam dimensi
mencuri saja yang berupa hukuman hudud. Hukuman ta’zier adalah kejahatan yang
ancaman hukumanya tidak terdapat didalam Nash. Sehingga Diserahkan kepada
Penguasa Secara Penuh. Namun dalam menjatuhkan hukuman yang tidak terdapat
didalam nash harus didasarkan kepada pertimbangan akal sehat dan keyakinan
hakim untuk mewujudkan maslahat dan menimbulkan rasa keadilan.
Pemotongan
tangan menurut ketentuan hukum ini ditetapkan untuk kemaslahatan umat.
Pencurian adalah pelanggaran akan ketentuan Allah. Yang melanggar batas, wajar
mendapat hukuman, siksaan dari Allah yang maha perkasa lagi bijaksana dalam
syari’at-Nya.
Dengan
ayat tersebut diatas, seolah-olah Allah berfirman: “janganlah kalian
melebihi batas-batas hukum yang telah Aku tetapakan baik berkenaan dengan hukum
mencuri ataupun dosa-dosa besar lainnya. Potong tangan ini merupakan siksaan
dunia yang Ku tetapkan bagi pencuri berdasarkan keluasan ilmuKu yang mengandung
kemaslahatan bagi kalian dan abgi mereka.”
Syari’ah
menetapkan pandangan yang lebih realistis dalam menghukum seorang pelanggar.
Tujuan dari hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan
kejahatan tersebut sehingga bisa diciptakan rasa perdamaian dimasyarakat. Islam
adalah agama yang syumul disebabkan itulah Islam amat menjaga
kepentingan umatnya. Dan setiap manusia itu ada hak pribadinya masing-masing.
Oleh itu barang siapa yang mengambil barang yang bukan kepunyaannya dengan
jalan mencuri lalu dalam agama islam telah ditetapkan hukum had keatasnya.
Islam
ingin membangun umatnya yang sehat. Dengan tujuan membina kedamaian dalam
masyarakat, maka pencurian dianggap sebagai suatu kejahatan dan dosa yang
besar. Dalam sebuah hadist nabi SAW. seorang pencuri bukanlah orang yang
beriman pada saat dia melakukan pencurian:
عن ابن عباس
رضي الله عنه أن النبي صلى الل عليه وسلم قال لا يزنى الزانى حين يزني وهو مؤمن
ولا يسرق حين يسرق وهو مؤمن
diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
sesungguhnya nabi SAW. telah bersabda:
“ketika seorang penzina berbuat
zina, maka dia bukan orang yang beriman; demikian pula tatkala seorang pencuri
melakukan pencurian, maka di waktu itu dia bukanlah orang yang beriman.” (HR.
Albukhari)
Begitu juga,
seorang pencuri dilaknat oleh Allah seperti disebutkan dalam hadist berikut:
عن ابى هريرة
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله السارق يسرق البيضة تنقطع يده ويسرق
الحبل فتقطع يده
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
nabi SAW. Bersabda: “ Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir
telur, hukumannya potong tangan; dan yang mencuri tali (hukumannya juga)
dipotong tangannya.”
Dalam
hadis diatas sebutir telur dikiaskan tombak besi, sedangkan tali dikiaskan alat
untuk pergi. Hadis ini bukan menunjukkan hukuman tapi hanya menunjukkan saking
beratnya pencurian itu. Hadis tersebut menekankan untuk menjerakan kejahatan
pencurian karena dari pencurian kecil, suatu ketika kelak seorang dapat menjadi
perampok besar jika dikekang.
Selanjutnya
di dalam QS. al-Maidah ayat 39 Allah SWT. Menerangkan keagungan nikmat-Nya dan
kesempurnaan kemurahan-Nya terhadap mereka yang berdosa, dengan menetapkan
hukum bagi yang bertobat. Orang yang bertobat akan berhenti dari perbuatan
zalimnya, memperbaiki perilakunya serta berjanji tidak akan melakukan lagi
perbuatan zalim serta berbuat baik dalam pergaulan hidup seterusnya dengan
mengharap ridha Allah. Allah SWT. akan mengampuni orang yang bertobat
kepada-Nya dan tidak akan mendapat siksaan apabila diterima tobatnya. Dosa
mencuri, menyangkut hak Allah dan hak kemanusiaan. Dosa terhadap Allah dapat
dihapus apabila yang bersangkutan benar-benar taubat, sedang dosa terhadap
sesama manusia karena mencuri, akan gugur apabila barangnya dikembalikan atau
minta maaf kepada yang bersangkutan
Penerapan pidana di Aceh tentunya sudah dipertimbangkan secara matang oleh
beberapa pembesar-pembesar hukum di Aceh. Dengan berlakunya pidana potong
tangan ini kita berharap agar tindakan korupsi akan semakin mengecil, bahkan
hingga tidak ada lagi yang bisa melakukan hal korupso tersebut. Hukum disini
bukan berarti untuk menghakimi manusia, namun untuk membuat jera si pelaku
korupsi. Agar ia sadar dengan apa yang ia lakukan dan juga tidak mengulanginya
lagi. Bagi orang yang belum melakukan korupsi dan ingin melakukannya, akan ada
kemungkinan besar ia akan mengurungkan niatnya untuk berkorupsi setelah melihat
pidana potong tangan tersebut.
KESIMPULAN
Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan perilaku korupsi dalam Islam.
Bahkan Islam melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi karena di dalamnya
mengandung unsur pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin /
penyalahgunaan jabatan, penyelewengan harta negara, suap / sogok,
pengkhianatan, dan perampasan / perampokan.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang dapat merugikan masyarakat,
mengganggu kepentingan publik, dan menimbulkan teror terhadap kenyamanan dan
ketertiban masyarakat. Hukum Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap
perilaku korupsi seperti hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman
terhadap harta benda, dan hukuman terhadap kemerdekaan seseorang.
Dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi, filosofi Islam menganjurkan
agar dilakukan pencegahan secepat mungkin. Sebagaimana adagium “mencegah suatu
penyakit lebih baik daripada mengobatinya”, begitu juga dengan korupsi yang
lebih baik dicegah daripada diberantas secara tuntas. Untuk itu diperlukan
langkah dan strategi yang tepat, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan menanamkan pendidikan anti korupsi
secara dini bagi generasi penerus bangsa.
Maka dalam tindakan untuk meminimalisirkan tindakan korupsi yang terjadi di
Aceh, sangat tepat dilakukan pidana potong tangan yang bisa membuat orang jera
dan tidak akan melakukan korupsi. Sebagai masyarakat aceh hendaknya kita
mendukung aksi pidana potong tangan bagi koruptor tersebut. Agar lingkungan
kita bebas dari “tikus berdasi” dan kita bisa mendapatkan apa yang seharusnya
menjadi hak kita.
SARAN/USUL
1.
Mengusulkan kepada petinggi-petinggi
hukum di Aceh agar menyamaratakan semua pihak dalam melakukan pidana potong tangan.
Dalam artian lain tidak pandang bulu.
2.
Mengusulkan kepada seluruh masyarakat
Aceh untuk menjungjung tinggi nilai syariat islam yang ada d Aceh. Karena syariat
islam merupakan warisan nenek moyang kita.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan
bisa bermanfaat untuk kita semua.
Banda Aceh, 24 Januari 2016
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar