Jumat, 21 Oktober 2016

MENANGGAPI SINERJISITAS PIDANA POTONG TANGAN BAGI KORUPTOR DENGAN SYARIAT ISLAM di ACEH

KATA PENGANTAR




Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul "Memahami Pengertian dan Fungsi Perbankan Syariah" tepat pada waktunya. 
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini. 
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini. 
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
                                        
Banda Aceh, 24 Januari 2016



Penyusun














MENANGGAPI SINERJISITAS PIDANA POTONG TANGAN BAGI KORUPTOR DENGAN SYARIAT ISLAM di ACEH
A.    PENGERTIAN KORUPSI MENURUT ISLAM
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan).
1.      Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumanya berupa hukuman ta’zir (jarimah ta’zir) yang disesuaikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan. Suap adalah memberikan sesuatu kepada orang penguasa atau pegawai dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat keuntungan dari itu atau dipermudahkan urusanya. Jika praktek suap itu dilakuakan dalam ruang lingkup peradilan atau proses penegakkan hokum maka hal itu merupakan kejahatan yang berat atau sejahat-jahatnya kejahatan. Abu Wail mengatakan bahwa apabila seorang hakim menerima hadiah, maka berarti dia telah makan barang haram, dan apabila menerima suap, maka dia sampa pada kufur.

2.      Yang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut etimologinya berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi sariqah adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti halnya korupsi yang mengambil harta dengan cara melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat/masyarakat). Dalam syariah ancaman terhadap pelaku sariqah (pencurian) ditentukan dengan jelas sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Maidah: 38, Allah berfirman :
 



Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al-Maidah:38)

Sehubungan dengan hukuman potong tangan dalam jarimah sariqah (pencurian) terdapat perbedaan pendapat apakah juga berlaku terhadap korupsi karena berdasarkan hadist Nabi SAW, yang bersabda:
“Tidak dipotong tangan atas penghianatan harta (korupstor ), perampok dan pencopet”.

3.      Yang ketiga, Korupsi dalam dimensi penipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan sabda Rosulullah saw, Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Terlebih penipuan itu dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata: “ Aku mendengar Rosulullah saw. Bersabda :” seorang hamba yang dianugerahi allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

4.      Yang keempat, Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama tentang korupsi yang sebenarnya adalah khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan mengabailak, menyalahgunakan, dan penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan kepercayaan yang amanahkan kepada dirinya. Khianat adalah pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada dirnya atau mengirangi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku khianat akan menyebabkan permusuhan diantara sesame karena orang yang berkhianat selalu memutar-balikkan fakta, dan juga berakibat terjadinya destruksi baik secara moral, social maupun secara politik-ekonomi. Islam melarang keras bagi orang-orang yang beriman terhadap perbuatan khianat baik terhadapa Allah, Rasul serta terhadap sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:
 




Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahuinya”. (QS. Al-Anfal:27)
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai nama) dalam Islam digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan pelakunya dikualifikasi sebagai orang-orang yang munafik, dzalim, fasik dan kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman hukumanya (selain had dan ta’zir) adalah neraka jahannam.





B.     DALIL LARANGAN KORUPSI
Ada banyak Ayat dan Hadits, disamping yang sudah disebutkan di depan, yang menjelaskan posisi atau hukum korupsi dalam pandangan Islam, diantaranya :Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] :188



Artinya :
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 188)
"Ayat diatas jelas jelas melarang kita untuk mengambil harta orang lain dengan caracara yang tidak benar. Dan "larangan" dalam pengertian aslinya bermakna "haram", Dan ke"haram"an ini menjadi lebih jelas, ketika Alloh menggunakan lafadh “bilitsmi” yang artinya "dosa". Dari sini, jelas mengambil harta yang bukan miliknya —termasuk diantaranya korupsi — adalah haram hukumnya, sama haramnya dengan pekerjaan berzina, membunuh dan semacamnya.
Firman Allah Ta'ala dalam surat an-Nisa' [4]:29



Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesunguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ".(QS. An-Nisaa’:29)
Seperti yang pertama, ayat ini pun melarang dengan tegas mengambil harta orang dengan cara-cara tidak benar, bedanya ayat ini memberikan solusi bagaimana mengambil harta orang lain tetapi dengan cara yang benar, salah satu di antaranya dengan melakukan jual beli atau transaksi dagang yang terlandasi kerelaan diantara pembeli dan penjual. Yang menarik, dalam ayat ini disebutkan dengan jelas larangan membunuh diri sendiri – apalagi membunuh orang lain – setelah larangan memakan harta orang lain dengan cara batil, sehingga – paling tidak – hukum dan hukuman orang yang memakan harta orang lain dengan cara batil sama dengan hukum dan hukuman membunuh orang, kalau tidak saya katakan "lebih berat", mengingat penyebutan larangan memakan harta orang lain dengan cara batil didahulukan dari larangan membunuh.
Larangan untuk melakukan perbuatan korupsi terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits. Walaupun secara literer tidak terdapat langsung mengenai arti kata korupsi, namun secara analogi ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut melukiskan tentang beberapa definisi korupsi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dalam pembahasan ini, penulis hanya mengemukakan dalil-dalil tentang al-‘ghashab (penggunaan hak orang lain tanpa izin), al-‘ghulul (penyelewengan harta negara), ar-risywah (suap), al-khianah (khianat), dan al-haraabah (perampasan). Sedangkan as-sariqah (pencurian) sudah tercakup dari keseluruhan definisi tersebut. As-sariqah (pencurian) menurut penulis hanya berlaku bagi kasus pencurian di mana hasil curian telah dimanfaatkan oleh si pencuri tanpa dikembalikan hasil curiannya sehingga berlaku hukum potong tangan dalam hukum Islam. Sedangkan bagi koruptor, wajib hukumnya mengembalikan hasil usaha korupsinya secara utuh dan dikenakan hukuman sesuai dengan syari’at Islam berdasarkan putusan hakim.

C.    SINERJISITAS PIDANA POTONG TANGAN di ACEH

Pemerintah daerah Provinsi Aceh tengah menggodok usulan dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk memasukan uqubat (hukuman) pidana potong tangan terhadap koruptor. Hal itu merupakan upaya untuk mencegah mucuulnya koruptor baru di Indonesia.
Penerapan uqubat berdasarkan qanun Syariat Islam itu sudah mendapat dukungan positif dari berbagai elemen masyarakat Aceh. Seperti akademisi guru besar perguruan tinggi, LSM, DPD-RI, TNI, Polri dan sejumlah pihak lainnya sudah membuat dukungan secara langsung yang dihimpun Lembaga Konsultasi dan Mediasi Bersama (LKMB) 2015.
Untuk saat ini, di Aceh sudah berlaku hukum syariat islam untuk seluruh umat islam. Sedangkan wacana pidana potong tangan berlaku untung seluruh rakyat Indonesia. Pemberlakuan hukum ini sangat didukung oleh golongan masyarakat. Karena dasar yang dipakai untuk hukum ini adalah dasar negara pancasila, tepatnya pancasila yang pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”. karena kegiatan korupsi merupakan salah satu larangan Tuhan, maka dengan menetapkan hukum pidana potong tangan bagi koruptor adalah salah satu tindakan untuk meminimalisirkan korupsi yang terjadi di negara ini dan juga untuk meminimalisirkan orang-orang yang mengabaikan perintah Tuhan.
Berdasarkan Al-Quran, perbuatan pidana yang dilakukan Oleh seseorang yang bertanggung jawab diberi hukuman dengan hukuman tertentu sesuai keadilan menurut Petunjuk Allah. Dasar dari pada Siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang dapat dipidana dan bagaimana hukumanya. Pertama didasarkan pada Keimanan Kepada Allah dan Wahyu Allah dan Al-Quran dan kedua didasarkan kepada akal sehat manusia untuk mendapatkan kemaslahatan didunia dan kebahagiaan di akherat. Islam sebagai sistim nilai memegang peranan penting untuk memberikan pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak, dengan memanfaatkan potensi baik setiap indivisu, yakni hati nurani. Lebih jauh Islam tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan individu, tetapi juga pensalehan social. Dalam pensalehan sosial ini, Islam mengembangkan semangat untuk mengubah kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati.
Sejatinya Islam mengembangkan semangat kontrol sosial. Dalam bentuk lain, Islam juga mengembangkan bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim pengawasan administratif dan managerial yang ketat. Oleh karena itu dalam memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi, seharusnya tidak pandang bulu, apakah ia seorang pejabat ataukah ia orang kebanyakan. Tujuan hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan, sehingga dapat diciptakan rasa damai, dan rukun dalam masyarakat. Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara’, meskipun nash tidak menjelaskan had atau kifaratnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan hukuman ta’zir atas kemaksiatn tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa kemiripan, diantaranya, mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, makan harta riba dll. Maka perbuatan termasuk ke dalam jarimah ta’zir yang penting.
Hal ini sejalan dengan hadis Nabi SAW berikut :
   ﺐﻬﺘﻨﻣ ﻻﻭ ﻦﺋﺎﺧ ﻰﻠﻋ ﺲﻴﻟ : ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ
(ﻯﺬﻣﺮﺘﻟﺍﻭ ﺪﺍ ﻩﺍﻭﺭ) ﻊﻄﻗ ﺲﻠﺘ ﻻﻭ






Artinya :
“Tidak ada (hukuman) potong tangan bagi pengkhianat, perampok dan perampas/pencopet”.(HR.Ahmad dan Tirmizy). Diriwayatkan oleh Jabir RA dari nabi SAW, Nabi bersabda :
Sebagai aturan pokok, Islam membolehkan menjatuhkan hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat, pabila dikendaki oleh kepentingan umum, artinya perbuatan-perbuatan dan keadaan-keadaan yang bisa dijatuhi hukuman ta’zir tidak mungkin ditentukan hukumannya sebelumnya, sebab hal ini tergantung pada sifat – sifat tertentu, dan apabila sifat-sifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidak lagi dilarang dan tidak dikenakan hukuman. Sifat tersebut adalah merugikan kepentingan dan ketertiban umum. Dan apabila perbuatan tersebut telah dibuktikan di depan Pengadilan maka hakim tidak boleh membebaskannya, melainkan harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai untuknya.
Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan dan ketertiban umum ini, merujuk kepada perbuatan Rasulullah SAW, dimana ia pernah menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri unta, Setelah diketahui/terbukti ia tidak mencurinya, maka Rasulullah membebaskannya. Syari’at Islam tidak menentukan macam-macam hukuman untuk jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dimulai dari hukuman yang seringan-ringannya, seperti nasehat, ancaman, sampai pada hukuman yang seberat-beratnya.
Penerapannya sepenuhnya diserahkan kepada Hakim (Penguasa), dengan kewenangan yang dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan dan keadaan pelakunya,9 dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum Islam dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1.      Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan umum.
2.      Efektifitas hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan martabat kemanusiaan pelakunya.
3.      Sepadan dengan kejahatan, sehingga terasa adil.
4.      Tanpa pilih kasih, semua sama keudukannya di depan hukum.
Seorang Hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan ringanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah ditetapkan sanksi hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain kecuali menerapkannya. Meskipun sanksi hukum bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan dalam nash secara tegas, namun perampasan dan pengkhiatan dapat diqiyaskan sebagai penggelapan dan korupsi.
Filsafat Hukum Islam dalam bidang pidana, khususnya dalam perbuatan korupsi dan juga pemberian hukumanya, seperti disebutkan diatas telah terbagi dalam beberapa dimensi. Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukuman terhadap Koruptor masuk kedalam hukuman Ta’zier. Hanya dalam dimensi mencuri saja yang berupa hukuman hudud. Hukuman ta’zier adalah kejahatan yang ancaman hukumanya tidak terdapat didalam Nash. Sehingga Diserahkan kepada Penguasa Secara Penuh. Namun dalam menjatuhkan hukuman yang tidak terdapat didalam nash harus didasarkan kepada pertimbangan akal sehat dan keyakinan hakim untuk mewujudkan maslahat dan menimbulkan rasa keadilan.
Pemotongan tangan menurut ketentuan hukum ini ditetapkan untuk kemaslahatan umat. Pencurian adalah pelanggaran akan ketentuan Allah. Yang melanggar batas, wajar mendapat hukuman, siksaan dari Allah yang maha perkasa lagi bijaksana dalam syari’at-Nya.
            Dengan ayat tersebut diatas, seolah-olah Allah berfirman: “janganlah kalian melebihi batas-batas hukum yang telah Aku tetapakan baik berkenaan dengan hukum mencuri ataupun dosa-dosa besar lainnya. Potong tangan ini merupakan siksaan dunia yang Ku tetapkan bagi pencuri berdasarkan keluasan ilmuKu yang mengandung kemaslahatan bagi kalian dan abgi mereka.”
            Syari’ah menetapkan pandangan yang lebih realistis dalam menghukum seorang pelanggar. Tujuan dari hukuman tersebut adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan tersebut sehingga bisa diciptakan rasa perdamaian dimasyarakat. Islam adalah agama yang syumul disebabkan itulah Islam amat menjaga kepentingan umatnya. Dan setiap manusia itu ada hak pribadinya masing-masing. Oleh itu barang siapa yang mengambil barang yang bukan kepunyaannya dengan jalan mencuri lalu dalam agama islam telah ditetapkan hukum had keatasnya.
            Islam ingin membangun umatnya yang sehat. Dengan tujuan membina kedamaian dalam masyarakat, maka pencurian dianggap sebagai suatu kejahatan dan dosa yang besar. Dalam sebuah hadist nabi SAW. seorang pencuri bukanlah orang yang beriman pada saat dia melakukan pencurian:
عن ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الل عليه وسلم قال لا يزنى الزانى حين يزني وهو مؤمن ولا يسرق حين يسرق وهو مؤمن
diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya nabi SAW. telah bersabda:
“ketika seorang penzina berbuat zina, maka dia bukan orang yang beriman; demikian pula tatkala seorang pencuri melakukan pencurian, maka di waktu itu dia bukanlah orang yang beriman.” (HR. Albukhari)
Begitu juga, seorang pencuri dilaknat oleh Allah seperti disebutkan dalam hadist berikut:
عن ابى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله السارق يسرق البيضة تنقطع يده ويسرق الحبل فتقطع يده
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa nabi SAW. Bersabda: “ Allah melaknat pencuri yang mencuri sebutir telur, hukumannya potong tangan; dan yang mencuri tali (hukumannya juga) dipotong tangannya.”
            Dalam hadis diatas sebutir telur dikiaskan tombak besi, sedangkan tali dikiaskan alat untuk pergi. Hadis ini bukan menunjukkan hukuman tapi hanya menunjukkan saking beratnya pencurian itu. Hadis tersebut menekankan untuk menjerakan kejahatan pencurian karena dari pencurian kecil, suatu ketika kelak seorang dapat menjadi perampok besar jika dikekang.
Selanjutnya di dalam QS. al-Maidah ayat 39 Allah SWT. Menerangkan keagungan nikmat-Nya dan kesempurnaan kemurahan-Nya terhadap mereka yang berdosa, dengan menetapkan hukum bagi yang bertobat. Orang yang bertobat akan berhenti dari perbuatan zalimnya, memperbaiki perilakunya serta berjanji tidak akan melakukan lagi perbuatan zalim serta berbuat baik dalam pergaulan hidup seterusnya dengan mengharap ridha Allah. Allah SWT. akan mengampuni orang yang bertobat kepada-Nya dan tidak akan mendapat siksaan apabila diterima tobatnya. Dosa mencuri, menyangkut hak Allah dan hak kemanusiaan. Dosa terhadap Allah dapat dihapus apabila yang bersangkutan benar-benar taubat, sedang dosa terhadap sesama manusia karena mencuri, akan gugur apabila barangnya dikembalikan atau minta maaf kepada yang bersangkutan
Penerapan pidana di Aceh tentunya sudah dipertimbangkan secara matang oleh beberapa pembesar-pembesar hukum di Aceh. Dengan berlakunya pidana potong tangan ini kita berharap agar tindakan korupsi akan semakin mengecil, bahkan hingga tidak ada lagi yang bisa melakukan hal korupso tersebut. Hukum disini bukan berarti untuk menghakimi manusia, namun untuk membuat jera si pelaku korupsi. Agar ia sadar dengan apa yang ia lakukan dan juga tidak mengulanginya lagi. Bagi orang yang belum melakukan korupsi dan ingin melakukannya, akan ada kemungkinan besar ia akan mengurungkan niatnya untuk berkorupsi setelah melihat pidana potong tangan tersebut.


KESIMPULAN
Tidak ada satu dalil pun yang membenarkan perilaku korupsi dalam Islam. Bahkan Islam melarang dengan tegas terhadap tindakan korupsi karena di dalamnya mengandung unsur pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin / penyalahgunaan jabatan, penyelewengan harta negara, suap / sogok, pengkhianatan, dan perampasan / perampokan.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan yang dapat merugikan masyarakat, mengganggu kepentingan publik, dan menimbulkan teror terhadap kenyamanan dan ketertiban masyarakat. Hukum Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap perilaku korupsi seperti hukuman terhadap jiwa, hukuman terhadap badan, hukuman terhadap harta benda, dan hukuman terhadap kemerdekaan seseorang.
Dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi, filosofi Islam menganjurkan agar dilakukan pencegahan secepat mungkin. Sebagaimana adagium “mencegah suatu penyakit lebih baik daripada mengobatinya”, begitu juga dengan korupsi yang lebih baik dicegah daripada diberantas secara tuntas. Untuk itu diperlukan langkah dan strategi yang tepat, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan menanamkan pendidikan anti korupsi secara dini bagi generasi penerus bangsa.
Maka dalam tindakan untuk meminimalisirkan tindakan korupsi yang terjadi di Aceh, sangat tepat dilakukan pidana potong tangan yang bisa membuat orang jera dan tidak akan melakukan korupsi. Sebagai masyarakat aceh hendaknya kita mendukung aksi pidana potong tangan bagi koruptor tersebut. Agar lingkungan kita bebas dari “tikus berdasi” dan kita bisa mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak kita.



SARAN/USUL
1.      Mengusulkan kepada petinggi-petinggi hukum di Aceh agar menyamaratakan semua pihak dalam melakukan pidana potong tangan. Dalam artian lain tidak pandang bulu.
2.      Mengusulkan kepada seluruh masyarakat Aceh untuk menjungjung tinggi nilai syariat islam yang ada d Aceh. Karena syariat islam merupakan warisan nenek moyang kita.
           Demikian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk kita semua.







                                                                                                                                        
Banda Aceh, 24 Januari 2016




Penyusun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar